Profesionalitas Guru _Fakultas Tarbiah Assholach Kejeron

Ditulis Juni 15, 2009 oleh nurulsaputra
Kategori: Uncategorized

Kajian Profesionalitas Guru

Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG

Kajian ini akan mengulas secara teoritis konsepsi tentang profesionalitas guru dalam Islam dan secara praktis juga mengulas tentang guru yang efektif. Kajian tentang profesionalitas guru terkait dengan konsepsi bagaimana guru yang profesional itu, apa kreteria-kreterianya, tugas dan kewajiban guru, syarat-syarat guru, kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki, dan kode etik guru. Sementara kajian tentang guru yang efektif, terkait dengan bagaimana efektifitas guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa; bagaimana perencanaan pengajarannya, bagaimana tampilannya di depan kelas, dan bagaimana teknis evaluasinya. Semua itu berusaha dikaji secara komprehensif dalam tulisan ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka disini akan membahas tentang :
1. Kreteria-kreteria profesionalitas
2. Aplikasi Profesionalisme pada tingkat yayasan
3. Konsepsi profesionalitas guru
4. Tugas dan tanggung jawab guru
5. Syarat-syarat guru profesional
6. Kode etik yang harus di miliki seorang guru
7. Tinjauan praktik tampilan guru di depan kelas

C. TUJUAN MASALAH

Dengan melihat rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulis makalah ini, sebagai berikut :
1. Mengetahui Kreteria Profesionalitas
2. Mengetahui Profesionalisme Di tingkat Yayasan
3. Mengetahui Konsepsi Profesionalitas Guru
4. Mengetahu Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
5. Mengetahui Syarat-Syarat Profesional
6. Mengetahui Kode Etik Yang Harus Dimiliki Oleh Guru
7. Mengetahui Tinjauan Praktik Tampilan Guru Di depan Kelas

Pembahasan
Guru Yang Profesional dan Efektif

A. PENGERTIAN DAN KRITERIA PROFESIONALITAS

Profesionalisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang profesional adalah orang yang memilii profesi. Cece wijaya mengatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Artinya bahwa pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Adapun ciri-ciri keprofesionalan menurut G. Westby Gibson adalah sebagai berikut :
1. Pengakuan masyarakat atas layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh sekelompok pekerja yang dikategorikan profesi.
2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik danprosedur yang unik.
3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang itu melakukan pekerjaan profesional.
4. Dimilikinya organisasi yang disamping melindungi kepentingan angotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, tapi sekaligus meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat. Termasuk tindak etis profesional terhadap anggotanya.
Dari ciri-ciri tersebut yang menjadi masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan terhadap tugas dan tanggungjawabnya (M, Usair Usman, 1989).
Selanjutnya Finn (1953) Menambahkan bahwa suatu profesi hendaknya membutuhkan adanya suatu organisasi profesi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat, Miarsu, 1986;28 ). Finn menambahkan pula bahwa dalam suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi yanng lain. pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari suatu profesi.
Paradigma Islam tentang Profesionalisme Apabila diperhatikan kriteria-kriteria profesionalisme yang disebutkan oleh Finn diatas, agaknya ada dua kriteria pokok yang ada dalam profesi, yaitu bahwa profesi: merupakan panggilan hidup dan di dalamnya terdapat keahlian. Adapun kriteria yang lainnya diperlukan untuk memperkuat kriteria ini . Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mengacu pada pengapdian; atau yang sekarang dikenal dengan ‘dedikasi’. Sementara kriteria ‘keahlian’ mengacu pada mutu layanan, yakni mutu dedikasi tersebut. Kriteria ‘memiliki teori’, ‘kecakapan diagnotik dan aplikatif’, ‘otonomi’, ‘kode etik’, ‘organisasi profesi’ dan ‘pengenalan keahlian’ , semuanya dapat dikatakan kriteria untuk memperkuat keahlian.; sedangkan kriteria ‘untuk masyarakat dan klien’ merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi. Jika demikian, dedikasi dan keahlian itulah ciri utama suatu bidang disebut suatu profesi; dan jika demikian maka jelas Islam mementingkan suatu profesi.
Pekerjaan (dalam hal ini profesi) menurut Islam harus dilakukan karena Allah. ‘Karena Allah’ maksudnya karena diperintahkan oleh Allah. Jadi profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu meupakan perintah Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan dilakukan untuk orang lain tetapi niat yang mendasarinya adalah untuk Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjan profesi didalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua obyek: pertama pengabdian kepada Allah dan kedua sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau yang lain sebagai obyek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria ‘pengabdian’ dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian yang telah diajarkan diatas tadi.
Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan juga dikerjakan demi Tuhan, jadi ada unsur transenden dalam melakukan profesi dalam Islam. unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai pengabdiannya dibandingkan dengan pengamalan profesi yang tidak didasari oleh keyakinan terhadap Tuhan. Dalam agama Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukkan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Sungguh benar sabda Rasulullah yang artinya: “ Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli maka tunggulah saat Kehancurannya.”
Kehancuran dalam konteks pendidikan, misalnya seorang guru. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang hancur adalah muridnya. sementara murid-muruid itu kelak mempunyai murid lagi. Murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar ( karena telah dididik dengan tidak benar), maka akan timbulah ‘kehancuran’ yang lebih luas yaitu kehancuran murid-murid itu dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka telah mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar.
Demikian juga dalam Al-Quran Allah mengisyarakan kita semua untuk bekerja menurut posisi kita masing-masing. seperti di tunjukkan dalam surat Al An’am 135 sebagai berikut : “ Dan katakanlah, wahai kaumku; bekerjalah menurut profesimu masing- masing, Sesunguhnya aku adalah orang yang bekerja………” .
Dengan uraian diatas jelaslah bahwa dalam islam juga sangat dibutuhkan adanya profesionalisme dalam suatu pekerjaan.

B. PROFESIONALITAS PADA TINGKAT YAYASAN

Sekolah biasanya berada di bawah pengelolaan dan tanggungjawab yayasan, disamping sekolah, dia juga biasanya mengurus kegiatan-kegiatan lain seperti koperasi, rumah sakit atau sekolah-sekolah lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak harus profesional dalam segala bidang garapan itu, pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Dalam hal seperti ini maka yayasan harus menugaskan seorang yang profesional untuk setiap bidang garapan tersebut. Pengurus sekolah sebaiknya tidak menjadi kepala sekolah, karena ia harus memikirkan perkembangan sekolah dan yayasan-yayasan lain yang ada dibawah naungannya. Hubungan kerjanya lebih banyak dengan pengurus yayasan dan dengan masyarakat. Sekolah hanya salah satu titik saja dalam pemikirannya. disamping itu pemikiran pengurus akan lebih luas jika tidak terlibat dengan persoalan-persoalan rutin yang biasanya ada dalam setiap sekolah.

C. KONSEPSI PROFESIONALITAS GURU

Dilihat dari kreteria-kreteria profesionalisme seperti yang dijelaskan diatas, maka guru adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas-tugas dan tanggung jawab seperti yang tersebut dalam suatu pekerjaan profesional. Ini berarti guru adalah profesi, yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.
Menurut Peter (1976: 71) tugas guru sebagai profesi meliputi; guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas. Sedangkan Amstrong (1977: 32) membagi tugas dan tangung jawab guru menjadi lima, yaitu tanggung jawab pengajaran, tanggung jawab bimbingan, pengembangan kurikulum, pengembangan profesi dan membina hubungan dengan masyarakat. Jadi profesionalisme guru adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam pendidikan berdasarkan keahlian yang diperolah melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya itu selama hidupnya (H.M. Arifin,1991: 106).
Apabila kembali pada konsep pendidik dalam Islam, dengan menggunakan rujukan hasil konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Makkah tahun 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekaligus, yakni, tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib (Hery Noer, 1999: 10). Maka pengertian pendidik dalam islam adalah sebagai murabbi, mu’allim, dan mu’addib sekaligus. Pengertian murabbi mengisyaratkan bahwa guru agama harus orang yang memiliki sifat-sifat rabbani, yaitu nama yang diberikan bagi orang yang bijaksana, terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb (al-Attas, 1980). Disamping itu juga memiliki sikap bertanggung jawab, penuh kasih sayang terhadap peserta didik.
Sementara pengertian mu’alllim mengandung konsekwensi bahwa mereka harus mu’allim (ilmuwan) yakni menguasai ilmu teoritik, memiliki kreatifitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang selalu menunjang tinggi nilai-nilai ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekaligus (al-Attas), 1980). Hilangnya dimensi amal dalam kehidupan guru agama akan menghapuskan citra dan esensi dari pendidikan Islam.
Ada sejumlah asumsi yang melandasi pekerjaan mendidik (guru) sebagai profesi sehingga perlu ada peningkatan profesionalitas dalam tugas mendidik, yaitu:
1) Subyek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk berkembang, karena itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan emosi dan perasaan.
2) Dalam melakukan aktifitasnya pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random. Dan oleh karena ada unsur tujuan, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik bersifat universal maupun nasional atau lokal yang menjadi acuan bagi pelaku pendidikan, yaitu guru dan peserta didik.
3) Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yaitu suatu potensi yang unggul pada diri manusia. Pendidikan jadinya merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik.
4) Tujuan pendidikan terletak pada dimensi instrinsiknya, yakni menjadikan manusia menjadi manusia yang baik yang dalam tujuan
5) pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dan seterusnya.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik pekerjaan guru yang demikian itu, maka tidak mungkin jika pendidikan dilakukan secara random, hanya menurut Common Sense. Pendidikan harus dilakukan oleh guru yang profesional dan konsekwensinya diperlukan upaya-upaya yang intensif dan intensional dalam rangka peningkatan profesionalitas.

D. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB GURU

Pada dasarnya guru (pendidik) adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam konteks Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal; Pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu pula ia ditaqdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, oleh sebab itu sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.
Pendidik, dalam hal ini adalah orang tua, mempunyai tugas untuk mendidik, yakni mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif (A. Tafsir,1994; 74). Potensi tersebut harus dikembangkan secra seimbang sampai ketingkat setinggi mungkin. Karena itu orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut.
Pada asalnya tugas itu adalah murni tugas kedua orang tua; jadi, tidak perlu orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan dan ketrampilan, mendidik anak dirumah juga dirasa tidak ekonomis, tidak efesien dan efektif. Oleh sebab itu
tugas-tugas tersebut akhirnya diserahkan kepada sekolah, yang lebih murah, efisien dan lebih efektif. Sekalipun demikian, kedua fihak, antara keluarga dan sekolah seharusnya mengerti dan saling menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu akan mengingatkan orang tua dan sekolah tentang perlunya dijalin kerja sama sebaik-baiknya antara sekolah dan rumah tangga. Kerja sama itu dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi pendidikan.
Pengaruh pendidikan dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman moderen ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar, luas dan mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segiperkembangan kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi guru yang dimaksud di sisni ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid di sekolah. Mengingat pengaruh guru yang amat besar terhadap perkembangan anak didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal.
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama ialah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Hal tersebut karena pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam paradigma ‘jawa’, pendidik diidentikkan dengan “guru” yang artinya “di gugu dan ditiru”. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar, yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. (Hasan Langgulung, 1988; 86)
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindarkan adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya. Kadangkala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer orf knowledge) kepada seseorang. Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencana (The planner of future society) (lihat Depag., 1984; 149).
Oleh karena itu tugas dan fungsi pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun
2) serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
3) Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.
4) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, anak-anak didik, dan masyarakat terkait, yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan. (Roestoyah NK, 1982; 86)
Tugas guru pada dasarnya adalah mendidik, tetapi mendidik mempunyai pengertian yang sangat luas, mendidik dapat dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain lain.
Ag Soejono (1982; 62) memerinci tugas pendidik sebagai berikut :
1. Wajib menemukan pembawaan yang terdapat pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui
pergaulan, angket dan sebagainya.
2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar
tidak berkembang.
3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebgai berikut :
1. Guru harus mengetahui karakter murid (al-Abrasi, 1974; 133)
2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (al-Abrasi, 1974; 134)
3. Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (al-Abrasi, 1974; 144)
Apa yang disebutkan di atas tentang tugas-tugas guru pada dasarnya mempunyai relevansi, kesamaan dan pada pokoknya dapat dikategorikan kepada tiga tugas pokok seperti disebutkan di atas, yakni, sebagai pengajar (instruksional), sebagai Pendidik (educator), dan sebagai Pemimpin (managerial) anak didik. Tugas-tugas tersebut dimaksudkan untuk menciptakan tercapainya perkembangan maksimal anak didik sesuai dengan maksud dan tujuan itu sendiri. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kurangnya harus dipenuhi beberapa syarat sebagi seorang guru.

E. SYARAT-SYARAT GURU YANG PROFESIONAL

Soejono (1982; 63-65) menyatakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru antara lain yaitu :
1) Tentang umur, harus sudah dewasa. Karena tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang atau menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab, dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Dalam dunia pendidikan orang sudah dianggap dewasa dalam hal umurnya ketika berumur 21 bagi laki-laki dan 18 bagi perempuan.
2) Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, Sebab jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila misalnya, akan sangat berbahaya bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab.
3) Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli. Seorang pengajar harus mempelajari dan mengetahui teori-teori ilmu pendidikan, teknik dan metode pengajaran, dan sebgainya.
4) Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi, syarat ini penting untuk dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik, karena bagaimana guru akan memberikan contoh misalnya, jika ia sendiri tidak baik perangainya. Dedikasi juga diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu mengajar.
Selanjutnya Cece Wijaya (1994: 24) menyebutkan bahwa untuk mendukung terlaksanakannya tugas dan tanggung jawab sebagai guru, maka dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan dasar yaitu:
1) Kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara
Menilai cara belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan
dan pengetahuan umum.
2) Kemampuan dalam bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan profesinya.
3) Kemampuan Prilaku (performance), artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan berprilaku, yaitu ketrampilan mengajar, membina, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan dalam menyusun rencana pengajaran, dan ketrampilan melaksanakan administrasi kelas.

F. KODE ETIK YANG HARUS DI MILIKI OLEH GURU

Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationships) antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik, demikian juga jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik setiap lembaga pendidik tidak harus sama tetapi secara instrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. ( Westy Soemanto; 1982: 147)
Al Ghazali (Muh Nawawy, al-Ma’arif: 88) merumuskan kode etik seorang pendidik dengan 17 bagian yaitu:
1) Menerima segala probel anak didik dengan sikap yang terbuka dan tabah.
2) Bersikap penyantun dan penyayang.
3) Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam bertintad.
4) Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
5) Menghilangkan sikap dan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia.
6) Bersifat lembut dalam mengahadapi anak didik yang rendah tingkat.
7) Meninggal kan sifat marah.
8) Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
9) Meninggalkan sikap yang menakutkan kepada anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
10) Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu.
11) Menerima kebenaran dari anak didik yang membantahnya.
12) Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari anak didik.
13) Mencegah anak didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
14) Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi gua disampaikan kepada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah.
15) Mencegah anak didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.

G. TINJAUAN PRAKTIK TAMPILAN GURU DI DEPAN KELAS

Dalam pendidikan islam, peranan guru masih cukup besar. Walaupun masih banyak variabel lain yang mempengaruhi prestasi dan kualitas hasil pendidikan, namun guru masih mendominasi, bahkan di beberapa lembaga pendidikan tidak jarang guru berperan sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup beralasan adanya upaya peningkatan efektifitas guru dalam proses pembelajaran terhadap kualitas pendidikan. Untuk pembenahan ini ada tiga aspek yang harus diperbaiki, yakni:
1) Aspek wawasan akademik, meliputi; wawasan medan keilmuan dan wawasan objektif masa depan,
2) Aspek metodik, meliputi; strategi belajar mengajar, desain instruksional, evaluasi hhasil belajar,
3) Aspek religik, meliputi; pendidikan wawasan niilai, meliputi; pendidikan wawasan nilai, satunya ilmu, iman dan amal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha, (terj.) CV.Diponegoro, Banding, 1992
Amstrong, The Process Education, New TýYork, Vintage Boo, Chaehan, 1977
Cece Wijaya, Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1994
Finn, dalam Ahmad tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Roedakarya, 1994
Gary A.David, Margaret A. Thomas, Effective Schools and Effektive Teacher, Printed USAý, 1989
Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Ciputat, 1999
Ikatan sarjana Pendidikan Indonesia, Profesionalitas Tenaga Pendidikan, no. I. ISSN, 02115/9643
Malik fadjar, Pengembangan pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, Majalah al-Harakah, no.47, edisi Juli-September 1997
Muhammad Usai Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1989.
Nurhida, ADR, Disain Intruksional, PSG, Depdikbud, Jakarta, 1980.
NY.Roestiyah,NK. Masalah-masalah ilmu keguruan, Jakarta, Bina Aksara, 1984.

Kajian Profesionalitas Guru

Ditulis Juni 15, 2009 oleh nurulsaputra
Kategori: Uncategorized

Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG

Kajian ini akan mengulas secara teoritis konsepsi tentang profesionalitas guru dalam Islam dan secara praktis juga mengulas tentang guru yang efektif. Kajian tentang profesionalitas guru terkait dengan konsepsi bagaimana guru yang profesional itu, apa kreteria-kreterianya, tugas dan kewajiban guru, syarat-syarat guru, kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki, dan kode etik guru. Sementara kajian tentang guru yang efektif, terkait dengan bagaimana efektifitas guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa; bagaimana perencanaan pengajarannya, bagaimana tampilannya di depan kelas, dan bagaimana teknis evaluasinya. Semua itu berusaha dikaji secara komprehensif dalam tulisan ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka disini akan membahas tentang :
1. Kreteria-kreteria profesionalitas
2. Aplikasi Profesionalisme pada tingkat yayasan
3. Konsepsi profesionalitas guru
4. Tugas dan tanggung jawab guru
5. Syarat-syarat guru profesional
6. Kode etik yang harus di miliki seorang guru
7. Tinjauan praktik tampilan guru di depan kelas

C. TUJUAN MASALAH

Dengan melihat rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulis makalah ini, sebagai berikut :
1. Mengetahui Kreteria Profesionalitas
2. Mengetahui Profesionalisme Di tingkat Yayasan
3. Mengetahui Konsepsi Profesionalitas Guru
4. Mengetahu Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
5. Mengetahui Syarat-Syarat Profesional
6. Mengetahui Kode Etik Yang Harus Dimiliki Oleh Guru
7. Mengetahui Tinjauan Praktik Tampilan Guru Di depan Kelas

Pembahasan
Guru Yang Profesional dan Efektif

A. PENGERTIAN DAN KRITERIA PROFESIONALITAS

Profesionalisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang profesional adalah orang yang memilii profesi. Cece wijaya mengatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Artinya bahwa pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Adapun ciri-ciri keprofesionalan menurut G. Westby Gibson adalah sebagai berikut :
1. Pengakuan masyarakat atas layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh sekelompok pekerja yang dikategorikan profesi.
2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik danprosedur yang unik.
3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang itu melakukan pekerjaan profesional.
4. Dimilikinya organisasi yang disamping melindungi kepentingan angotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, tapi sekaligus meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat. Termasuk tindak etis profesional terhadap anggotanya.
Dari ciri-ciri tersebut yang menjadi masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan terhadap tugas dan tanggungjawabnya (M, Usair Usman, 1989).
Selanjutnya Finn (1953) Menambahkan bahwa suatu profesi hendaknya membutuhkan adanya suatu organisasi profesi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat, Miarsu, 1986;28 ). Finn menambahkan pula bahwa dalam suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi yanng lain. pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari suatu profesi.
Paradigma Islam tentang Profesionalisme Apabila diperhatikan kriteria-kriteria profesionalisme yang disebutkan oleh Finn diatas, agaknya ada dua kriteria pokok yang ada dalam profesi, yaitu bahwa profesi: merupakan panggilan hidup dan di dalamnya terdapat keahlian. Adapun kriteria yang lainnya diperlukan untuk memperkuat kriteria ini . Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mengacu pada pengapdian; atau yang sekarang dikenal dengan ‘dedikasi’. Sementara kriteria ‘keahlian’ mengacu pada mutu layanan, yakni mutu dedikasi tersebut. Kriteria ‘memiliki teori’, ‘kecakapan diagnotik dan aplikatif’, ‘otonomi’, ‘kode etik’, ‘organisasi profesi’ dan ‘pengenalan keahlian’ , semuanya dapat dikatakan kriteria untuk memperkuat keahlian.; sedangkan kriteria ‘untuk masyarakat dan klien’ merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi. Jika demikian, dedikasi dan keahlian itulah ciri utama suatu bidang disebut suatu profesi; dan jika demikian maka jelas Islam mementingkan suatu profesi.
Pekerjaan (dalam hal ini profesi) menurut Islam harus dilakukan karena Allah. ‘Karena Allah’ maksudnya karena diperintahkan oleh Allah. Jadi profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu meupakan perintah Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan dilakukan untuk orang lain tetapi niat yang mendasarinya adalah untuk Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjan profesi didalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua obyek: pertama pengabdian kepada Allah dan kedua sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau yang lain sebagai obyek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria ‘pengabdian’ dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian yang telah diajarkan diatas tadi.
Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan juga dikerjakan demi Tuhan, jadi ada unsur transenden dalam melakukan profesi dalam Islam. unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai pengabdiannya dibandingkan dengan pengamalan profesi yang tidak didasari oleh keyakinan terhadap Tuhan. Dalam agama Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukkan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Sungguh benar sabda Rasulullah yang artinya: “ Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli maka tunggulah saat Kehancurannya.”
Kehancuran dalam konteks pendidikan, misalnya seorang guru. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang hancur adalah muridnya. sementara murid-muruid itu kelak mempunyai murid lagi. Murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar ( karena telah dididik dengan tidak benar), maka akan timbulah ‘kehancuran’ yang lebih luas yaitu kehancuran murid-murid itu dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka telah mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar.
Demikian juga dalam Al-Quran Allah mengisyarakan kita semua untuk bekerja menurut posisi kita masing-masing. seperti di tunjukkan dalam surat Al An’am 135 sebagai berikut : “ Dan katakanlah, wahai kaumku; bekerjalah menurut profesimu masing- masing, Sesunguhnya aku adalah orang yang bekerja………” .
Dengan uraian diatas jelaslah bahwa dalam islam juga sangat dibutuhkan adanya profesionalisme dalam suatu pekerjaan.

B. PROFESIONALITAS PADA TINGKAT YAYASAN

Sekolah biasanya berada di bawah pengelolaan dan tanggungjawab yayasan, disamping sekolah, dia juga biasanya mengurus kegiatan-kegiatan lain seperti koperasi, rumah sakit atau sekolah-sekolah lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak harus profesional dalam segala bidang garapan itu, pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Dalam hal seperti ini maka yayasan harus menugaskan seorang yang profesional untuk setiap bidang garapan tersebut. Pengurus sekolah sebaiknya tidak menjadi kepala sekolah, karena ia harus memikirkan perkembangan sekolah dan yayasan-yayasan lain yang ada dibawah naungannya. Hubungan kerjanya lebih banyak dengan pengurus yayasan dan dengan masyarakat. Sekolah hanya salah satu titik saja dalam pemikirannya. disamping itu pemikiran pengurus akan lebih luas jika tidak terlibat dengan persoalan-persoalan rutin yang biasanya ada dalam setiap sekolah.

C. KONSEPSI PROFESIONALITAS GURU

Dilihat dari kreteria-kreteria profesionalisme seperti yang dijelaskan diatas, maka guru adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas-tugas dan tanggung jawab seperti yang tersebut dalam suatu pekerjaan profesional. Ini berarti guru adalah profesi, yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.
Menurut Peter (1976: 71) tugas guru sebagai profesi meliputi; guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas. Sedangkan Amstrong (1977: 32) membagi tugas dan tangung jawab guru menjadi lima, yaitu tanggung jawab pengajaran, tanggung jawab bimbingan, pengembangan kurikulum, pengembangan profesi dan membina hubungan dengan masyarakat. Jadi profesionalisme guru adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam pendidikan berdasarkan keahlian yang diperolah melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya itu selama hidupnya (H.M. Arifin,1991: 106).
Apabila kembali pada konsep pendidik dalam Islam, dengan menggunakan rujukan hasil konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Makkah tahun 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekaligus, yakni, tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib (Hery Noer, 1999: 10). Maka pengertian pendidik dalam islam adalah sebagai murabbi, mu’allim, dan mu’addib sekaligus. Pengertian murabbi mengisyaratkan bahwa guru agama harus orang yang memiliki sifat-sifat rabbani, yaitu nama yang diberikan bagi orang yang bijaksana, terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb (al-Attas, 1980). Disamping itu juga memiliki sikap bertanggung jawab, penuh kasih sayang terhadap peserta didik.
Sementara pengertian mu’alllim mengandung konsekwensi bahwa mereka harus mu’allim (ilmuwan) yakni menguasai ilmu teoritik, memiliki kreatifitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang selalu menunjang tinggi nilai-nilai ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekaligus (al-Attas), 1980). Hilangnya dimensi amal dalam kehidupan guru agama akan menghapuskan citra dan esensi dari pendidikan Islam.
Ada sejumlah asumsi yang melandasi pekerjaan mendidik (guru) sebagai profesi sehingga perlu ada peningkatan profesionalitas dalam tugas mendidik, yaitu:
1) Subyek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk berkembang, karena itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan emosi dan perasaan.
2) Dalam melakukan aktifitasnya pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random. Dan oleh karena ada unsur tujuan, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik bersifat universal maupun nasional atau lokal yang menjadi acuan bagi pelaku pendidikan, yaitu guru dan peserta didik.
3) Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yaitu suatu potensi yang unggul pada diri manusia. Pendidikan jadinya merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik.
4) Tujuan pendidikan terletak pada dimensi instrinsiknya, yakni menjadikan manusia menjadi manusia yang baik yang dalam tujuan
5) pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dan seterusnya.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik pekerjaan guru yang demikian itu, maka tidak mungkin jika pendidikan dilakukan secara random, hanya menurut Common Sense. Pendidikan harus dilakukan oleh guru yang profesional dan konsekwensinya diperlukan upaya-upaya yang intensif dan intensional dalam rangka peningkatan profesionalitas.

D. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB GURU

Pada dasarnya guru (pendidik) adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam konteks Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal; Pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu pula ia ditaqdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, oleh sebab itu sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.
Pendidik, dalam hal ini adalah orang tua, mempunyai tugas untuk mendidik, yakni mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif (A. Tafsir,1994; 74). Potensi tersebut harus dikembangkan secra seimbang sampai ketingkat setinggi mungkin. Karena itu orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut.
Pada asalnya tugas itu adalah murni tugas kedua orang tua; jadi, tidak perlu orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan dan ketrampilan, mendidik anak dirumah juga dirasa tidak ekonomis, tidak efesien dan efektif. Oleh sebab itu
tugas-tugas tersebut akhirnya diserahkan kepada sekolah, yang lebih murah, efisien dan lebih efektif. Sekalipun demikian, kedua fihak, antara keluarga dan sekolah seharusnya mengerti dan saling menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu akan mengingatkan orang tua dan sekolah tentang perlunya dijalin kerja sama sebaik-baiknya antara sekolah dan rumah tangga. Kerja sama itu dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi pendidikan.
Pengaruh pendidikan dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman moderen ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar, luas dan mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segiperkembangan kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi guru yang dimaksud di sisni ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid di sekolah. Mengingat pengaruh guru yang amat besar terhadap perkembangan anak didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal.
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama ialah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Hal tersebut karena pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam paradigma ‘jawa’, pendidik diidentikkan dengan “guru” yang artinya “di gugu dan ditiru”. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar, yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. (Hasan Langgulung, 1988; 86)
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindarkan adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya. Kadangkala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer orf knowledge) kepada seseorang. Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencana (The planner of future society) (lihat Depag., 1984; 149).
Oleh karena itu tugas dan fungsi pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun
2) serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
3) Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.
4) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, anak-anak didik, dan masyarakat terkait, yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan. (Roestoyah NK, 1982; 86)
Tugas guru pada dasarnya adalah mendidik, tetapi mendidik mempunyai pengertian yang sangat luas, mendidik dapat dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain lain.
Ag Soejono (1982; 62) memerinci tugas pendidik sebagai berikut :
1. Wajib menemukan pembawaan yang terdapat pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui
pergaulan, angket dan sebagainya.
2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar
tidak berkembang.
3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebgai berikut :
1. Guru harus mengetahui karakter murid (al-Abrasi, 1974; 133)
2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (al-Abrasi, 1974; 134)
3. Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (al-Abrasi, 1974; 144)
Apa yang disebutkan di atas tentang tugas-tugas guru pada dasarnya mempunyai relevansi, kesamaan dan pada pokoknya dapat dikategorikan kepada tiga tugas pokok seperti disebutkan di atas, yakni, sebagai pengajar (instruksional), sebagai Pendidik (educator), dan sebagai Pemimpin (managerial) anak didik. Tugas-tugas tersebut dimaksudkan untuk menciptakan tercapainya perkembangan maksimal anak didik sesuai dengan maksud dan tujuan itu sendiri. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kurangnya harus dipenuhi beberapa syarat sebagi seorang guru.

E. SYARAT-SYARAT GURU YANG PROFESIONAL

Soejono (1982; 63-65) menyatakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru antara lain yaitu :
1) Tentang umur, harus sudah dewasa. Karena tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang atau menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab, dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Dalam dunia pendidikan orang sudah dianggap dewasa dalam hal umurnya ketika berumur 21 bagi laki-laki dan 18 bagi perempuan.
2) Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, Sebab jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila misalnya, akan sangat berbahaya bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab.
3) Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli. Seorang pengajar harus mempelajari dan mengetahui teori-teori ilmu pendidikan, teknik dan metode pengajaran, dan sebgainya.
4) Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi, syarat ini penting untuk dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik, karena bagaimana guru akan memberikan contoh misalnya, jika ia sendiri tidak baik perangainya. Dedikasi juga diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu mengajar.
Selanjutnya Cece Wijaya (1994: 24) menyebutkan bahwa untuk mendukung terlaksanakannya tugas dan tanggung jawab sebagai guru, maka dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan dasar yaitu:
1) Kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara
Menilai cara belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan
dan pengetahuan umum.
2) Kemampuan dalam bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan profesinya.
3) Kemampuan Prilaku (performance), artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan berprilaku, yaitu ketrampilan mengajar, membina, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan dalam menyusun rencana pengajaran, dan ketrampilan melaksanakan administrasi kelas.

F. KODE ETIK YANG HARUS DI MILIKI OLEH GURU

Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationships) antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik, demikian juga jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik setiap lembaga pendidik tidak harus sama tetapi secara instrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. ( Westy Soemanto; 1982: 147)
Al Ghazali (Muh Nawawy, al-Ma’arif: 88) merumuskan kode etik seorang pendidik dengan 17 bagian yaitu:
1) Menerima segala probel anak didik dengan sikap yang terbuka dan tabah.
2) Bersikap penyantun dan penyayang.
3) Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam bertintad.
4) Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
5) Menghilangkan sikap dan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia.
6) Bersifat lembut dalam mengahadapi anak didik yang rendah tingkat.
7) Meninggal kan sifat marah.
8) Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
9) Meninggalkan sikap yang menakutkan kepada anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
10) Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu.
11) Menerima kebenaran dari anak didik yang membantahnya.
12) Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari anak didik.
13) Mencegah anak didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
14) Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi gua disampaikan kepada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah.
15) Mencegah anak didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.

G. TINJAUAN PRAKTIK TAMPILAN GURU DI DEPAN KELAS

Dalam pendidikan islam, peranan guru masih cukup besar. Walaupun masih banyak variabel lain yang mempengaruhi prestasi dan kualitas hasil pendidikan, namun guru masih mendominasi, bahkan di beberapa lembaga pendidikan tidak jarang guru berperan sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup beralasan adanya upaya peningkatan efektifitas guru dalam proses pembelajaran terhadap kualitas pendidikan. Untuk pembenahan ini ada tiga aspek yang harus diperbaiki, yakni:
1) Aspek wawasan akademik, meliputi; wawasan medan keilmuan dan wawasan objektif masa depan,
2) Aspek metodik, meliputi; strategi belajar mengajar, desain instruksional, evaluasi hhasil belajar,
3) Aspek religik, meliputi; pendidikan wawasan niilai, meliputi; pendidikan wawasan nilai, satunya ilmu, iman dan amal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha, (terj.) CV.Diponegoro, Banding, 1992
Amstrong, The Process Education, New TýYork, Vintage Boo, Chaehan, 1977
Cece Wijaya, Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1994
Finn, dalam Ahmad tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Roedakarya, 1994
Gary A.David, Margaret A. Thomas, Effective Schools and Effektive Teacher, Printed USAý, 1989
Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Ciputat, 1999
Ikatan sarjana Pendidikan Indonesia, Profesionalitas Tenaga Pendidikan, no. I. ISSN, 02115/9643
Malik fadjar, Pengembangan pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, Majalah al-Harakah, no.47, edisi Juli-September 1997
Muhammad Usai Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1989.
Nurhida, ADR, Disain Intruksional, PSG, Depdikbud, Jakarta, 1980.
NY.Roestiyah,NK. Masalah-masalah ilmu keguruan, Jakarta, Bina Aksara, 1984.
T. Raka Joni, Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, P2LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud, jakarta, 1985